BERNOSTALGIA DI ANTANG (Bagian 2)

Kata apa yang kiranya pantas kulontarkan ketika kembali menjejakkan kaki di tanah kelahiranku sendiri ini? Selain; Assalamu'alaikum, aku pulang? Atau, aku datang?

Kecamatan Murung Keramat tak berubah sama sekali. Jalan panggungnya yang terbuat dari susunan kayu ulin, masih tetap bertahan sejak dulu. Meskipun ada beberapa tambalan kayu yang berusaha ditutupi oleh warga.

Pratak! Protok! Pratak! Protok!

Irama papan yang sudah longgar dari susunannya ketika dilalui sepeda atau motor, semakin nyaring saja dari waktu ke waktu. Paku-paku mulai mencuat dari tempatnya. Jika ban motor atau ban sepedanya yang mulai menipis, bocor sudah.


Kumuh, jalan desa satu-satunya yang dilalui untuk bisa sampai ke Antang ini -selain menggunakan klotok-. Jalan yang terdapat rumah di sisi kiri-kanan sepanjang jalan di tepi sungai ini semakin sempit karena orang-orang yang duduk di badan jalan, terkadang duduk di tengahnya.
Ya. Jalan yang memang milik warga kampung. Harus berjalan pelan untuk melewatinya jika kondisinya begitu.
Jangan lupa untuk sekadar 'permisi..numpang lewat' agar terkesan ramah. Walaupun disahut dengan 'ya, silahkan' tetap saja mereka tak bergerak dari tempat duduknya.
Jangan heran jika badan jalan digunakan sebagai halaman untuk menjemur kasur sampai ikan kering. Ini hal biasa.

view yang akan kita temukan jika sudah hampir sampai ke Antang :D angin sorenya enak, bikin ngantuk.

Memasuki Antang, saya mulai khawatir orang-orang yang melihat akan berpikiran negatif. Untuk apa laki-laki dan perempuan pergi ke tempat sepi, kota mati tak berpenghuni. Untungnya hal ini tidak terjadi. Rupanya kompleks Antang tidak benar-benar tanpa penghuni. Masih ada beberapa warga yang mendiami Antang. Syukurlah.

Waaaa... Masih setengah tidak percaya, saya menjejakkan kaki di Antang lagi. Tak ada yang berubah dari Antang seingat saya, masih sama. Kecuali dua-tiga buah rumah yang sudah mulai hancur karena tidak di tempati.

Di pos jaga perusahaan letaknya persis di perempatan jalan, kami bertemu dengan security yang kebingungan melihat kami mampir dengan senyum-senyum masih tak percaya berada di Antang.

"Eh, Novi kah?"

"Alhamdulillah, ingat!"

"Lawan ulun pang ingat lah?" (Kalo dengan saya, masih ingat nggak?)

"Siapa yo lah..?" (Siapa ya?)

"Ma ai, anaknya om Baner." 

"Ooh.. ..Sandi, kah?"

"Iya banar." (Betul banget)

"Iya iya, ada apa nih?"

"Handak melihat Antang banar ai." (Pengin lihat Antang aja)

"Handak melihati tembuninya jar di bawah pohon asam klinik haha." (Katanya pengin lihat ari-arinya yang di bawah pohon asam di klinik, haha)

"Kaya ini pang sudah Antang, kadada orangnya lagi." (Ya gini, Antang sekarang. Orangya sudah gak ada lagi)

Kami berbincang-bincang sedikit sebelum melanjutkan melihat-lihat Antang. Beberapa orang security ini bekerja menjaga sisa-sisa alat perusahaan yang masih berfungsi dengan baik semuanya. Mesin-mesin super besar yang menguliti pohon sampai jadi lembar-lembar plywood yang kini hanya berteman sunyi.


los-los pasar tradisional yang digantikan pohon pisang


Begitu masuk lebih ke dalam, saya mulai mengingat-ingat apa saja yang hilang dari Antang dulu. Sekolah TK dan Klinik yang berada persis di sebelahnya sudah hilang, hanya ditumbuhi rumput liar tebal. Selanjutnya hanya ada lapangan rumput yang lebih mirip sawah, yang ditumbuhi rumput liar, dan ditanami padi di beberapa bagiannya.
kompleks perumahan juga sudah mulai berubah menjadi hutan.

Wow.. Saya takjub sekaligus sedih. Semuanya hilang, benar-benar hilang. Susunan rumah yang saling silang berseberangan, dan yang berupa rusun kayu bertingkat tiga lantai, sudah hilang. 

jembatan di depan bekas pasar ini adalah tempat favorit untuk berkumpul jika ingin bermain ke mana dan ke mana.
Ternyata masih ada beberapa orang yang mendiami Antang. Kami mampir ke tempat tinggal security yang kami temui di depan tadi. Bertanya kabar dan sedikit mengobrol. 

rumah yang halamannya dijadikan kolam ikan dan ditanami buah-buahan.


Bangunan rumah yang tersisa dari Antang.

"Ya begini kehidupan penghuni terakhir, untung saja listrik dan air gratis 24 jam!" Kata mama Helmi yang adalah istri dari security yang kami temui di depan tadi.
Memang sejak dulu Listrik dan Air di Antang gratis, tetapi hanya dinyalakan oleh perusahaan 10-12 jam mulai pukul 5 sore. Dan ada beberapa rumah yang listrik dan airnya menyala 24 jam, tetapi tidak gratis, termasuk rumah saya dulu.

dikasih minum.
Hari sudah semakin sore. Saya mengajak Novi untuk bergegas melihat-lihat Antang yang lain. Masih ada mesjid, SD, pelabuhan dan lainnya yang belum saya lihat.

"Sampai SD sana ja, jangan ke logpond, sabat banar kadada lagi yang kesitu!" (Sampai SD aja, jangan ke pelabuhan di logpond, jalannya tertutup rumput, sudah gak ada yang lewat situ.) kata mama Helmi


Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "BERNOSTALGIA DI ANTANG (Bagian 2)"

  1. Antang...
    Saya punya beberapa teman SD berasal dari sana. Dan sekarang udah putus kontak.

    Mungkin punya informasi dimana mereka pak?

    Nama-nama teman yang saya ingat ada Anton, Marzuki, Eka, Widya...dulu sekolah di SDN Selat Hilir IX, lulus SD tahun 1994

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, kalo tahun 94 saya baru umur 2 tahun, Mas. Haha

      Hilang kontaknya terakhir kapan Mas?

      Delete
    2. Hilang kontak ya abis lulusan SD itulah. Kami beda SMP, mereka kebanyakan di SMPN-1, saya di SMPN-2.

      Maklum dulu ga ada hape jadi ga bisa lanjut komunikasi simpan-simpan nomer, hehe

      Delete

Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar. Komen dong! Jangan sungkan untuk meninggalkan komentar, ya!